Masa remaja adalah masa tumbuh dan berkembang dimana terjadi perubahan kualitatif secara fisik dan psikis. Masa remaja disebut sebagai masa kritis karena pada masa ini remaja banyak mengalami konflik. Perubahan- perubahan pesat yang terjadi pada masa remaja menimbulkan keraguan, perasaan tidak mampu, tidak aman dan dalam banyak kasus mengakibatkan perilaku yang kurang baik. Remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai bagi dirinya dan inipun sering dilakukan melalui metode coba-coba walaupun melalui banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan kekhawatiran serta perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orang tuanya. Kesalahan yang diperbuat para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini karena mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas (Uttamo, 2000). Kenikmatan tabu yang dianggap simbolik orang dewasa digunakan oleh remaja di Amerika sebagai bentuk reaksi pencapaian status. Kenikmatan tabu yang paling umum dilakukan adalah hubungan seks sebelum menikah, merokok, minum minuman keras dan penggunaan berbagai macam obat-obatan (Hurlock, 1990: 213). Bagi remaja merokok merupakan lambang kematangan, remaja lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok sebaya bila memang ingin diidentifikasikan dengan kelompok sebaya dan tidak mau lagi dianggap anak-anak melainkan hampir dewasa. Penelitian Hidayati (2003) membuktikan adanya korelasi positif (r = 0,749; p = 0,01) yang sangat signifikan antara konformitas terhadap kelompok dengan perilaku merokok remaja. Semakin tinggi konformitas terhadap kelompok maka semakin tinggi perilaku merokok remaja. Perilaku merokok merupakan perilaku yang merugikan kesehatan. Baik kesehatan perokok itu sendiri maupun kesehatan orang lain yang berada di sekitar perokok. Diketahui bahwa rokok mengandung 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan dan tidak diperlukan tubuh manusia. Merokok beberapa isapan saja sudah meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, kekurangan oksigen, tersengal-sengal, batuk, mual dan sakit kepala. Laporan menunjukkan tiga puluh persen kematian akibat kanker disebabkan karena kebiasaan merokok, demikian pula 21 persen kematian akibat penyakit jantung dan 82 persen kematian akibat sakit paru-paru kronis (Santrock, 2003: 550). Merokok berperan sebagai gerbang utama penyalahgunaan obat-obatan dalam bentuk lain. Pada awalnya sepertiga anak muda yang hanya mencoba-coba akhirnya menjadi ketagihan pada umur 20 tahun. Perokok dewasa-muda 100 kali lebih mungkin untuk menghisap ganja dan menggunakan obat-obatan lain seperti kokain dan heroin di masa depannya. Merokok khususnya berbahaya untuk remaja karena tubuh mereka masih berkembang dan berubah sehingga bahan-bahan kimia dalam rokok dapat mempengaruhi proses perkembangannya tersebut (Yayasan Cinta Anak Bangsa, 2001). Perilaku merokok yang dilakukan remaja tidak pernah surut meskipun mereka tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Usia merokok setiap tahun semakin muda. Bila dulu orang berani merokok biasanya mulai Sekolah Menengah Pertama, maka sekarang anak-anak Sekolah Dasar kelas 5 sudah mulai banyak yang merokok secara diam-diam (Mu`ttadin, 2002). Kenyataan saat ini, banyak remaja Indonesia yang merokok. Berdasarkan penelitian 40 tahun di Inggris, yang dipublikasikan pada tahun 1990, sekitar 50% perokok mulai merokok di usia remaja. Hasil survei pada 1994 terhadap 1.000 responden dewasa menunjukkan 41,5% mulai merokok pada usia 15-22 tahun, 31% pada usia 10-17 tahun, dan 11% sebelum usia 10 tahun (Tresnawati, 2001). Sedangkan pada tahun 2000, hasil penelitian Global Youth Tobacco menunjukkan dari 2.074 responden pelajar Indonesia usia 15-20 tahun 43,9% (pria 63 persen dan 18,8 persen wanita) mengaku pernah merokok (Gatra, 17 Maret 2003). Penelitian menunjukkan jumlah remaja yang mulai merokok meningkat tajam setelah usia 10 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 13 atau 14 tahun (Escobedo, dkk, 1993). Siswa yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih muda, lebih cenderung menjadi perokok berat dan merokok secara teratur daripada siswa yang mulai merokok pada usia yang lebih tua (Santrock, 2003: 550). Bagi remaja merokok sering kali diasosiasikan baik secara sadar maupun tidak sadar dengan kesan makin seksi, makin berani, tidak kolot (modern) serta memberikan kesan dewasa, jantan dan gagah (Danusantoso, 1993: 7). Alasan ``ingin tampak mengesankan `` adalah alasan paling umum yang dilontarkan para remaja mengapa mereka mulai merokok (Armstrong, 1995: 31). Sejak bertahun-tahun lalu, Indonesia sudah gencar menganjurkan remaja untuk tidak merokok. Misalnya melarang merokok di rumah dan sekolah dengan ancaman hukuman, atau menakut-nakuti lewat poster, ceramah, dan bacaan tentang bahaya merokok bagi kesehatan. Tapi dua metode itu tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Karena di mata remaja, tidak ada orang meninggal karena merokok (Kompas, 27 September 2004). Menurut Purwanti, psikolog dari Universitas Indonesia (Kompas, Humaniora, Senin 27 September 2004) perilaku merokok pada remaja berkaitan erat dengan pergaulan dan harga diri. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Richard Strauss terhadap remaja obesitas dan non-obesitas. Hasil yang sama menunjukkan bahwa remaja yang mengalami penurunan harga diri karena mengalami obesitas ataupun tidak, secara signifikan merokok dan mengkonsumsi alkohol (Pediatrics Vol.105 No.1 January 2000, p.e15). Gambaran tubuh yang menarik merupakan salah satu kebahagian remaja awal. Hanya sedikit remaja yang mengalami kateksis tubuh atau merasa puas dengan tubuhnya. Ketidakpuasan lebih banyak dialami di beberapa bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis tubuh menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri selama masa remaja (Hurlock, 1990: 211). Dengan maksud untuk menghindari dari masalah yang dihadapi tersebut banyak remaja merokok. Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang bahagia (Mu`ttadin, 2002). Anak-anak dari keluarga bahagia akan memiliki harga diri tinggi karena mengalami perasaan nyaman yang berasal dari penerimaan, cinta, dan tanggapan positif orang tua mereka. Sedangkan pengabaian dan penolakan akan membuat remaja secara otomatis merasa tidak berharga (Clemes, dkk, 1995: 20). Karena merasa tidak berharga, diacuhkan dan tidak hargai maka remaja akan mengalami perasaan negatif terhadap dirinya sendiri. Bagi mereka merokok merupakan salah satu cara yang dapat mengurangi perasaan negatif yang dirasakannya. Menurut Silvan Tomkins (1991) memang banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak (Bali Post, 2003). Survei dilakukan terhadap anak sekolah menunjukkan bahwa mereka yang kurang pandai di sekolah kebanyakan adalah perokok. Mereka akan berusaha membuat dirinya tampak dewasa untuk mengkompensasi kegagalan mereka di kelas (Armstrong, 1995: 24). Penelitian yang dilakukan Ruth Weston dengan membandingkan remaja yang tidak merokok, remaja yang merokok memiliki harga diri lebih rendah dan cenderung melawan orang tua mereka (Family Matters no.36 December 1993, pp. 40-42). Fenomena merokok di Indonesia memang sudah sangat memprihatinkan dan kini sudah merambah ke anak-anak sekolah.Di sejumlah tempat seperti warung nasi, terminal atau tempat-tempat nongkrong, sering dijumpai sekumpulan siswa berseragam putih biru (SLTP), putih abu-abu (SLTA) bahkan siswa Sekolah Dasar bersenda gurau sambil berlomba "mengepulkan asap". Kita mungkin bertanya, dari mana mereka bisa mendapatkan rokok tersebut? Untuk tahap pertama, mereka mungkin saja merokok karena pemberian teman. Namun begitu kecanduan, kebutuhan merokok pun meningkat. Dari pemberian kemudian harus membeli sendiri. Bagi mereka yang memiliki uang saku lebih, tidak ada masalah untuk membeli sebungkus atau dua bungkus rokok. Tapi bagaimana mereka yang uang saku dari orang tuanya sangat terbatas atau hanya cukup untuk biaya naik kendaraan umum dan makan siang. Bisa saja desakan kebutuhan terhadap rokok semakin mendorong sebagian siswa mengambil langkah salah, seperti membohongi atau menipu orang tua. Bahkan sangat mungkin karena demi rokok, ada di antaranya terjerumus pada tindakan kriminal seperti mencuri atau memeras (Pikiran Rakyat, 2003) Remaja adalah generasi penerus pembangunan bangsa dan sebagai sumber daya manusia (SDM) pada masa mendatang. Mereka harus menjadi generasi berkualitas, memiliki keunggulan, kompetetif, dan kemampuan bertahan serta berkembang dalam terpaan ancaman pengaruh globalisasi seperti merokok. Status kesehatan bagi remaja merupakan komponen yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Status kesehatan yang optimal akan membentuk generasi-generasi yang berbadan sehat dan berjiwa sehat. Oleh karena itu, remaja harus memiliki penghargaan yang tinggi akan dirinya. Remaja harus membangun rasa percaya diri, kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan mengambil sikap dan mengatasi tekanan situasi atau tekanan teman sebaya pada saat muncul 'godaan' yang menjerumuskan pada seks bebas, narkoba, bahkan mulai dari penolakan terhadap rokok. Remaja sebagai generasi penerus tampaknya perlu untuk memiliki nilai yang tepat bagaimana seharusnya bersikap, karena sikap memiliki hubungan yang erat dengan perilaku. Dari permasalahan tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian tentang hubungan antara harga diri dengan sikap terhadap perokok pada remaja awal. B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah apakah ada hubungan antara harga diri dengan sikap terhadap perokok pada remaja awal? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan sikap terhadap perokok pada remaja awal. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang berarti bagi khasanah ilmu pengetahuan terutama psikologi sosial dan psikologi perkembangan. 2. Manfaat praktis a. Bagi orang tua Dapat memberikan informasi dan gambaran tentang harga diri remaja, sikap remaja terhadap perokok dan bahaya merokok. b. Bagi pendidik Memberikan sumbangan informasi dan gambaran tentang bahaya merokok, harga diri remaja dan sikap remaja terhadap perokok. c. Bagi remaja Memberikan informasi dan gambaran kepada remaja tentang pentingnya harga diri, bahaya merokok dan bagaimana seharusnya remaja bersikap terhadap perokok.
0 komentar:
Posting Komentar